Anak Broken Home? Hal pertama
apa yang akan terlintas dipikiranmu? Seorang yang pembrontak? Brutal? Coba kau
hilangkan pemikiran tentang hal itu. Cobalah baca cerita ini dengan perlahan
dan pahami dari sudut pandang yang berbeda.
Setiap anak pasti
mengidamkan dilahirkan dari keluarga yang lengkap dan harmonis. Contohnya
memiliki Ayah tegas dan bertanggung jawab. Ia bisa menjadi tulang punggung
keluarga sekaligus melindungi keluarganya. Selanjutnya memiliki Ibu, orang yang
dikasihi oleh Ayah, berhati lembut, guru terbaik ketika mengajar di rumah, koki
yang hebat dalam memasak. Lebih baik lagi jika memiliki Kakak atau Adik,
seorang yang bisa diajak tertawa bersama ataupun bertengkar.
Ya begitulah kurang lebih
gambaranku tentang sebuah keluarga yang lengkap dan harmonis, yaitu adanya
keberadaan Ayah, Ibu, Kakak, Adik dan tinggal di satu atap yang sama. Jika
semua hal itu dimiliki oleh kamu, seharusnya kamu patut bersyukur. Karena tidak
semua orang memiliki hal itu, bahkan mungkin ada seseorang yang ingin berada di
posisi kamu. Contohnya itu aku.
Aku terlahir dari
keluarga yang broken, yaitu keluarga
yang tidak utuh. Ayah dan Ibuku berpisah ketika aku masih berumur 2 tahun. Tak
begitu banyak hal yang kuingat saat mereka berpisah. Yang jelas mereka memilih
untuk melanjutkan hidup masing-masing, tanpa memikirkan perasaanku.
Jika kamu umat beragama
pasti langsung berpendapat, “Memang inilah takdir yang diberikan Tuhan untukmu
dan kamu tidak bisa menyangkalnya.” Ya iyalah masa aku menentang kehendak Tuhan,
dia kan yang menciptakan aku.
Mungkin di luar aku
terlihat baik-baik saja, tersenyum dan tertawa seolah-olah aku adalah seseorang
yang cukup kuat untuk menghadapi kejadian ini. Sebenarnya, tidak. Bahkan
dibilang tidak sama sekali.
Ada saat aku menangis
sendiri di sudut kamar. Menginginkan hal-hal kecil yang biasa dialami oleh
keluarga utuh. Seperti, menonton tv bersama, makan malam di meja yang sama,
atau mungkin berbagi cerita tentang kehidupanku di kampus. Hal-hal kecil itu
tidak bisa aku lakukan karena Ayah dan Ibuku kini sudah memiliki kehidupan
masing-masing.
Di tahun 2014, ketika aku
di SMP, saat itu jam pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan untuk ke luar
sekolah begitu pula aku dan teman-temanku. Saat di pintu gerbang sekolah, aku
melihat orang tua dari beberapa temanku menjemput mereka di sekolah. Ada yang menjemputnya
menggunakan motor, ada juga yang menjemputnya
menggunakan mobil.
Kamu tahu apa yang ada
dipikiranku? Ya, aku juga mau dijemput seperti itu. Ketika dijemput, orang tua
akan bertanya, “Bagaimana sekolahnya tadi? Apakah ada hal yang menyenangkan?”
Aku juga mau seperti itu, tetapi kenyataanya tidak. Aku pulang sekolah hanya
dengan angkutan umum. Aku tidak dijemput oleh Ayah atau Ibu, mereka sibuk
bekerja dengan dalil untuk menafkahi aku sehingga tidak sempat untuk
menjemputku.
Di tahun 2017, ketika aku
lulus SMK, aku bingung jika ada acara wisuda di sekolah, siapa yang akan aku
undang untuk hadir dalam wisudaku. Ayah atau Ibu? Aku tak mungkin mengundang
mereka berdua sekaligus karena saat ini mereka sudah memiliki pasangan baru
untuk melanjutkan hidup.
Hal itu sempat membuatku
khawatir dan terpikirkan. Untungnya, Tuhan membantuku dan memberikan jawaban
bahwa wisuda SMK akan diadakan di Jogja jadi orang tua tak perlu ikut datang.
Aku lega sekaligus bersyukur, memang Tuhan itu maha tahu apa yang dibutuhkan
Hamba-Nya.
Di lain hal, yaitu di
dalam kehidupan masyarakat. Orang-orang masih saja melabeli bahwa anak “Broken Home” itu semuanya sama. Liar,
suka melawan, tidak memiliki adab ataupun moral, dan label negatif lainnya.
Hal itu cukup
memprihatinkan karena tidak semua anak “Broken Home” itu sama. Kalau pun
sebagian dari kami ada yang seperti itu, cobalah bimbing kami, beritahu kami,
agar kami bisa memperbaiki diri, bukannya malah melabeli kami itu tidak baik.
Lagipula, banyak juga dari kami yang bisa beradaptasi dengan baik, berteman,
berprestasi, dan tumbuh menjadi seseorang yang berkepribadian kuat serta
dewasa.
Hidup kami itu sudah
cukup berat, menerima kenyataan bahwa keluarga kami tidak utuh. Harapanku semoga
tidak ada lagi masyarakat yang melabeli anak “Broken Home” itu buruk. Karena hal itu dapat menambah beban dan memicu
emosi dalam diri kami. Jadi, cukup rangkul dan bimbing kami, setidaknya jadilah
pendengar yang baik untuk kami.
Terakhir, untuk siapa pun
yang terlahir dari keluarga broken,
ingat kalian itu tidak sendiri. Banyak orang di dunia ini juga mengalami hal
serupa dengan kalian. Jadi, yang perlu kalian lakukan adalah berkegiatan
positif yang menghasilkan prestasi sehingga kalian bisa mematahkan
stigma-stigma negatif dari masyarakat tentang anak “Broken Home” dan juga tunjukkan kepada kedua orang tua kalian bahwa
kalian juga bisa dan layak untuk sukses.
Inspiratif! Tetap semangat Renna, featurenya bagus :)
BalasHapusTerima kasih, Aca. Semangat juga untuk dirimu
Hapussemangat kak
BalasHapusSemangat terus, terima kasih Dumsky
HapusSetujuu si ini. Kita gabisa menjudge orang dengan 1 kejadian aja di hidupnya, sedangkan pribadi yang dibentuk itu ya gacuma dari 1 kejadian aja yakann? SEMANGATT RENN!
BalasHapusbetulll, terima kasih Nuri
HapusSemangat renna! Featurenya menyentuh bgt:")
BalasHapusSemangat ya renna, i feel you. Pernah di posisi kamu juga, dan rasanya berat bgt
BalasHapus