About

Sabtu, 19 Oktober 2019

Oh, Kereta!

(Foto: ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna)


Hari ini aku ingin mengunjungi salah satu kerabat di daerah Palmerah. Lantas, aku memilih untuk menggunakan tranportasi kereta api yang saat ini lebih akrab kita sebut dengan Commuter Line. Aku memulai perjalanan dari stasiun Pondok Cina.

Menakjubkan, setelah hampir 7 tahun aku tidak menggunakan kereta untuk berpergian, kini transportasi yang bisa menganggkut 320 juta orang per hari sudah berpenampilan lebih modern dari sebelumnya. Di tahun 2010 silam, ketika aku masih SD, Mama menggajakku berbelanja ke Tanah Abang menggunakan kereta api. Saat itu, kereta tidak ber-AC, banyak pedagang asongan yang berteriak dari gerbong satu ke gerbong lainnya.

Yang paling menyebalkan dahulu, ketika pengamen menaikki kereta dan melantunkan nada-nada dari bibirnya. Suaranya nyaring mungkin lebih mendekati fals, tetapi ia tetap bersenandung ria dengan harapan pundi-pundi perak dari penumpang. Dan juga dahulu terkadang ada pengemis tua dengan bermuka sendu mengulurkan tangan ke setiap penumpang yang ada di dalam gerbong.

Kini semua hal itu sudah tidak ada lagi di dalam kereta. Penumpang dapat dengan nyaman berkendara dengan kereta. Selain itu yang terpenting, sudah tidak ada lagi penumpang yang duduk di atap kereta atau bergelantungan di pintu kereta. Tak ada lagi KRL Ekonomi. Tak ada lagi KRL Ekspres. Yang ada hanya Commuter Line.

Kereta tujuan Angke pun tiba di stasiun Pocin pukul 16:13, sikut sana-sikut sini akupun ikut bersaing dengan penumpang lainnya agar bisa masuk ke dalam gerbong wanita yang berada di bagian depan dari arah lajunya kereta. Akhirnya, aku berhasil masuk dan langsung berdiri di depan perempuan muda menggunakan gaun hitam selutut serta heels senada.

Kereta pun melaju kembali menuju stasiun berikutnya, saat itu aku melihat keadaan di sekitar, aku terkejut dan memikirkan ternyata masih ada hal yang menyebalkan di dalam Commuter Line ini. Kini hal yang menyebalkannya itu bukan lagi pengamen atau pengemis yang bekerja di dalam kereta. Tetapi, hal menyebalkan itu berasal dari penumpang kereta itu sendiri.

Dimulai dari perempuan berhijab dengan blus biru yang duduk dengan nikmatnya mungkin dia sedang memimpikan hal-hal indah, sedangkan di depannya berdiri seorang ibu tua yang tangguh berusaha menyeimbangkan diri dari lajunya kereta.

Bukan hanya itu, ada wanita muda yang sedang bersandar di dekat pintu KRL, bukankah itu berbahaya? Wanita muda itu mengenakan hijab hijau senada dengan kaos panjangnya. Kini, ia sedang asyik melahap roti coklatnya. Ugh, menjijikan remahan rotinya berjatuhan di lantai, apakah dia tidak melihat peraturan untuk tidak boleh makan di dalam kereta? Oh mungkin ia tidak melihatnya karena peraturan itu tertutup badannya.

Oh masih ada lagi, dua gadis muda berseragam putih abu–abu sedang ketawa-ketiwi di gerbong ini. Yang satu berambut pirang lurus sebahu, yang satu lagi berambut hitam ikal dikuncir. Si rambut hitam yang ikal ini asyik bercerita seolah-olah ingin menyebarluaskan lakonnya untuk seluruh penumpang di gerbong satu. Menggelegar dan nyaring. Begitu pula, si rambut pirang ini tiada hentinya tertawa mendengar lakon yang diceritakan oleh temannya tersebut.

Menyebalkan sekali, tak ada bedanya KRL Ekonomi yang dulu dengan yang sekarang. Masih sama-sama berisik dan adab para penumpang yang masih jauh dari kata sopan.

Ah, tunggu dulu sebentar, di mana ini? Stasiun Manggarai kah? Wah banyak sekali penumpang yang akan naik. Sebagian penumpang lama turun dan sebagian penumpang baru akan masuk ke dalam kereta. Mereka semua beradu badan agar bisa keluar dari kereta dan masuk ke dalam kereta. Bahkan ada yang berteriak, "Sabar, yang turun dulu woy." Miris, bukankah memang seharusnya penumpang lama turun terlebih dahulu baru penumpang baru naik ke dalam kereta?

Tak lama kemudian kereta melaju kembali. Kali ini penumpang di kereta lebih banyak dari sebelumnya. Tetapi, tak apa, memang seharusnya tranportasi massa digunakan oleh massa bukan?
Akhirnya, aku sampai di Tanah Abang. Aku pun pindah jalur dari peron 3 ke peron 5. Butuh perjuangan untuk mencapai ke peron 5. Jika kau anker alias anak kereta pasti kau akan paham dengan pernyataanku yang ini.

Setelah berjuang menyebrangi peron, akhirnya, aku naik di kereta tujuan Serpong. Tiba – tiba ada hal menarik lagi yang kulihat. Wanita berhijab hitam senada dengan jaketnya sibuk mengotak-atik ponsel keluaran Taiwan. Apa yang dia lakukan? Aku penasaran dan berusaha mengitip dari belakang. Astaga, ternyata dia sedang bercerita di sosial medianya. Haha, aku tertawa setiap kata demi kata yang dia lontarkan. Dia mengeluhkan tentang seorang Ibu menyebalkan karena menyelip antreannya. Hmm sepertinya, terlalu banyak drama yang terjadi di dalam kereta. Begitulah ceritaku di dalam kereta, apakah kamu juga pernah merasakan hal-hal ini saat berada di dalam kereta? Atau mungkin, kau salah satu orang dari yang kuceritakan tadi?


0 komentar:

Posting Komentar