(Foto: ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna) |
Hari
ini aku ingin mengunjungi salah satu kerabat di daerah Palmerah. Lantas, aku
memilih untuk menggunakan tranportasi kereta api yang saat ini lebih akrab kita
sebut dengan Commuter Line. Aku memulai
perjalanan dari stasiun Pondok Cina.
Menakjubkan,
setelah hampir 7 tahun aku tidak menggunakan kereta untuk berpergian, kini
transportasi yang bisa menganggkut 320 juta orang per hari sudah berpenampilan
lebih modern dari sebelumnya. Di tahun 2010 silam, ketika aku masih SD, Mama
menggajakku berbelanja ke Tanah Abang menggunakan kereta api. Saat itu, kereta tidak
ber-AC, banyak pedagang asongan yang berteriak dari gerbong satu ke gerbong
lainnya.
Yang
paling menyebalkan dahulu, ketika pengamen menaikki kereta dan melantunkan
nada-nada dari bibirnya. Suaranya nyaring mungkin lebih mendekati fals, tetapi ia tetap bersenandung ria
dengan harapan pundi-pundi perak dari penumpang. Dan juga dahulu terkadang ada
pengemis tua dengan bermuka sendu mengulurkan tangan ke setiap penumpang yang
ada di dalam gerbong.
Kini
semua hal itu sudah tidak ada lagi di dalam kereta. Penumpang dapat dengan
nyaman berkendara dengan kereta. Selain itu yang terpenting, sudah tidak ada
lagi penumpang yang duduk di atap kereta atau bergelantungan di pintu kereta.
Tak ada lagi KRL Ekonomi. Tak ada lagi KRL Ekspres. Yang ada hanya Commuter
Line.
Kereta
tujuan Angke pun tiba di stasiun Pocin pukul 16:13, sikut sana-sikut sini
akupun ikut bersaing dengan penumpang lainnya agar bisa masuk ke dalam gerbong
wanita yang berada di bagian depan dari arah lajunya kereta. Akhirnya, aku
berhasil masuk dan langsung berdiri di depan perempuan muda menggunakan gaun hitam
selutut serta heels senada.
Kereta
pun melaju kembali menuju stasiun berikutnya, saat itu aku melihat keadaan di
sekitar, aku terkejut dan memikirkan ternyata masih ada hal yang menyebalkan di
dalam Commuter Line ini. Kini hal
yang menyebalkannya itu bukan lagi pengamen atau pengemis yang bekerja di dalam
kereta. Tetapi, hal menyebalkan itu berasal dari penumpang kereta itu sendiri.
Dimulai
dari perempuan berhijab dengan blus biru yang duduk dengan nikmatnya mungkin
dia sedang memimpikan hal-hal indah, sedangkan di depannya berdiri seorang ibu
tua yang tangguh berusaha menyeimbangkan diri dari lajunya kereta.
Bukan
hanya itu, ada wanita muda yang sedang bersandar di dekat pintu KRL, bukankah
itu berbahaya? Wanita muda itu mengenakan hijab hijau senada dengan kaos panjangnya.
Kini, ia sedang asyik melahap roti coklatnya. Ugh, menjijikan remahan rotinya
berjatuhan di lantai, apakah dia tidak melihat peraturan untuk tidak boleh
makan di dalam kereta? Oh mungkin ia tidak melihatnya karena peraturan itu
tertutup badannya.
Oh
masih ada lagi, dua gadis muda berseragam putih abu–abu sedang ketawa-ketiwi di
gerbong ini. Yang satu berambut pirang lurus sebahu, yang satu lagi berambut
hitam ikal dikuncir. Si rambut hitam yang ikal ini asyik bercerita seolah-olah ingin
menyebarluaskan lakonnya untuk seluruh penumpang di gerbong satu. Menggelegar
dan nyaring. Begitu pula, si rambut pirang ini tiada hentinya tertawa mendengar
lakon yang diceritakan oleh temannya tersebut.
Menyebalkan
sekali, tak ada bedanya KRL Ekonomi yang dulu dengan yang sekarang. Masih
sama-sama berisik dan adab para penumpang yang masih jauh dari kata sopan.
Ah,
tunggu dulu sebentar, di mana ini? Stasiun Manggarai kah? Wah banyak sekali
penumpang yang akan naik. Sebagian penumpang lama turun dan sebagian penumpang baru
akan masuk ke dalam kereta. Mereka semua beradu badan agar bisa keluar dari
kereta dan masuk ke dalam kereta. Bahkan ada yang berteriak, "Sabar, yang
turun dulu woy." Miris, bukankah memang seharusnya penumpang lama turun
terlebih dahulu baru penumpang baru naik ke dalam kereta?
Tak
lama kemudian kereta melaju kembali. Kali ini penumpang di kereta lebih banyak
dari sebelumnya. Tetapi, tak apa, memang seharusnya tranportasi massa digunakan
oleh massa bukan?
Akhirnya,
aku sampai di Tanah Abang. Aku pun pindah jalur dari peron 3 ke peron 5. Butuh
perjuangan untuk mencapai ke peron 5. Jika kau anker alias anak kereta pasti kau akan paham dengan pernyataanku
yang ini.
Setelah
berjuang menyebrangi peron, akhirnya, aku naik di kereta tujuan Serpong. Tiba –
tiba ada hal menarik lagi yang kulihat. Wanita berhijab hitam senada dengan jaketnya
sibuk mengotak-atik ponsel keluaran Taiwan. Apa yang dia lakukan? Aku penasaran
dan berusaha mengitip dari belakang. Astaga, ternyata dia sedang bercerita di
sosial medianya. Haha, aku tertawa setiap kata demi kata yang dia lontarkan. Dia
mengeluhkan tentang seorang Ibu menyebalkan karena menyelip antreannya. Hmm sepertinya,
terlalu banyak drama yang terjadi di dalam kereta. Begitulah ceritaku di dalam
kereta, apakah kamu juga pernah merasakan hal-hal ini saat berada di dalam
kereta? Atau mungkin, kau salah satu orang dari yang kuceritakan tadi?
0 komentar:
Posting Komentar